*2 Adegan di Film "Oppenheimer" yang Sengaja Direkayasa

oppenheimer

KODEMIMPI - Film Oppenheimer karya Christopher Nolan terasa otentik, tetapi ada dua adegan utama di mana film tersebut menyimpang dari kenyataan.

Kita terbiasa mendengar bahwa ada sejumlah film biopik yang diprotes kalangan sejarawan karena dinilai telah mengobrak-abrik realita.

Respons penulis naskah skenario film, seperti Aaron Sorkin dan Peter Morgan, terhadap kritik tersebut juga telah mengemuka.

Mereka menegaskan bahwa sah-sah saja bagi penulis skenario untuk mengacak-acak kronologi, menciptakan suatu karakter yang sesungguhnya gabungan dari beberapa orang, serta merekayasa insiden guna menyampaikan kebenaran secara lebih mendalam.

Kontroversi pada film Oppenheimer garapan sutradara Christopher Nolan tidak terletak pada orisinalitas sejarah. Bahkan, sang penulis merangkap sutradara itu sengaja memikul tanggung jawab selayaknya sejarawan dalam menuturkan kisah tentang J Robert Oppenheimer dan Proyek Manhattan yang merancang dan menciptakan bom atom.

Sebagian besar adegan dan alur film yang paling berkesan diambil langsung dari buku Kai Bird dan Martin J Sherwi berjudul American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J Robert Oppenheimer, serta dari sumber-sumber kontemporer.

Tetap saja ada beberapa rekayasa, termasuk dua adegan penting: para ilmuwan yang membuat bom tersebut benar-benar khawatir bahwa senjata itu akan menyebabkan dunia kiamat secara tidak sengaja.

Adegan pertama muncul pada malam sebelum tes Trinity, peledakan bom atom pertama di dunia, setelah Enrico Fermi (Danny Deferrari) bertaruh apakah ledakan itu akan menghancurkan dunia.

Letnan Jenderal Leslie Groves (Matt Damon) bertanya kepada Oppenheimer (Cillian Murphy) apa yang dimaksud Fermi. Pertanyaan ini mengarah ke percakapan tentang kemungkinan apokaliptik dan ketidakmungkinan kepastian mutlak dalam ilmu teoretis.

Pada kenyataannya, sebagai kepala Proyek Manhattan, Groves pasti sangat menyadari teori yang melatari lelucon Fermi.

Kembali pada Juli 1942, Edward Teller (diperankan oleh Benny Safdie dalam film tersebut) telah menyampaikan kemungkinan bahwa bom tersebut dapat menghasilkan suhu yang cukup kuat untuk memicu reaksi berantai termonuklir di atmosfer--memicu atom nitrogen, hidrogen, atau keduanya--kemudian "mengelilingi bumi dalam lautan api".

Ketika Oppenheimer memberitahu Arthur Compton, yang mengerjakan reaksi berantai di Laboratorium Metalurgi di Chicago, Compton bersedia menghentikan seluruh proyek asalkan skenario hari kiamat dapat dikesampingkan.

"Lebih baik menerima perbudakan Nazi daripada mengambil peluang menarik tirai terakhir umat manusia!" kenangnya secara teatrikal pada tahun 1959, sehingga insiden itu tersebar ke khalayak untuk pertama kalinya.

Orang-orang Amerika tidak tahu bahwa di Jerman, ketika Werner Heisenberg menjalankan program bom untuk Nazi, Hitler juga khawatir bahwa fisikawannya bisa "membakar dunia".

Fisikawan Hans Bethe segera mengungkapkan kekurangan dalam teori Edward Teller dan meyakinkan Oppenheimer bahwa reaksi berantai "sangat tidak mungkin"--peluangnya kurang dari tiga dalam satu juta, menurut Compton.

Teller membuat perhitungannya sendiri sesaat sebelum tes Trinity dan menemukan "tidak ada alasan untuk percaya bahwa tembakan percobaan akan memicu kehancuran dunia".

Namun, ketika bom meledak, beberapa saksi tiba-tiba tidak yakin. Ledakan cahaya putih yang sunyi berlangsung begitu lama sebelum ledakan sehingga fisikawan Italia, Emilio Segre, mengaku takut bahwa "ledakan tersebut dapat membakar atmosfer dan dengan demikian menghabisi Bumi, meskipun saya tahu bahwa ini tidak mungkin".

Sutradara film, Christopher Nolan, menggunakan kesesatan logika ini untuk menggambarkan ketakutan yang diilhami oleh bom tersebut.

Dia mengungkitnya lagi dalam adegan imajiner lain yang memberikan sensasi mengerikan pada akhir film: percakapan di tepi danau antara Oppenheimer dan Albert Einstein (Tom Conti) di Princeton pada tahun 1946.

Kedua ilmuwan tersebut menyatakan bahwa bom tersebut benar-benar mengancam akhir dunia, tidak hanya di Trinity.

  • "Kekuatan yang menjijikkan"

Film tersebut dikritik karena tidak menggambarkan dampak bom di Hiroshima dan Nagasaki, dan tidak menentang klaim bahwa bom tersebut diperlukan secara militer. Akan tetapi hal itu sesuai dengan perspektif Oppenheimer.

Meskipun dia memberitahu Presiden AS, Harry Truman, bahwa dia merasa tangannya berlumuran darah, upaya pascaperangnya yang gagal dalam mengendalikan senjata internasional serta menggagalkan pengembangan bom hidrogen yang lebih destruktif sejatinya bukanlah penebusan dosa atas apa yang telah terjadi, tapi mencegah sesuatu yang lebih buruk.

"Memang sifat aneh dari bom itu dan masa depan yang diprediksi secara tepat, bukan hasil yang ditimbulkan dalam perang, yang membuat orang terkesan," tulis Vannevar Bush, ketua Komite Riset Pertahanan Nasional, pada tahun 1949.

Dia mengamati bahwa pengeboman di kota-kota Jepang mengerikan tetapi tidak kontroversial.

Meskipun mayoritas orang Amerika mendukung pengeboman tersebut, banyak yang dihantui oleh bayangan bahwa Amerika bisa seperti Hiroshima, seperti yang dihalusinasikan oleh Oppenheimer dalam film tersebut.

Masa depan adalah prioritas Oppenheimer. Walau penggunaan bom tidak pernah menjadi keputusannya, dia tampaknya percaya bahwa dalam jangka panjang, pilihannya hanya ada dua: Jepang dibom atau perang terus berlangsung.

Pada tahun 1939, dia mengetahui bahwa kemajuan fisi nuklir untuk membuat bom tak terelakkan. Selang enam tahun kemudian dia meyakini bahwa bom itu bakal membuat perang nuklir tak terhindarkan, kecuali jika kekuatannya yang mengerikan dapat ditunjukkan kepada dunia sebelum konflik berakhir.

"Mereka tidak akan takut sampai mereka memahaminya," katanya dalam film tersebut, "dan mereka tidak akan memahaminya sampai mereka menggunakannya".

Kolega-koleganya termasuk Teller dan Niels Bohr (diperankan oleh Kenneth Branagh) setuju, meskipun bagi mereka penggunaan bom nuklir untuk mencegah perang di masa depan tidak lantas membuat penggunaan bom tersebut menjadi kurang mengerikan.

Keputusan sutradara Christopher Nolan untuk menceritakan kisah bom melalui mata Oppenheimer--tidak hanya pengalamannya tetapi juga kekhawatirannya--membuat film ini punya urgensi kontemporer.

Apa yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki adalah sejarah, tetapi ancaman keberadaan senjata nuklir masih ada bersama kita, seperti yang diketahui Oppenheimer.

Kesadaran ini terekam dalam kutipannya yang paling terkenal. Fisikawan itu kemudian mengeklaim bahwa di Trinity dia telah memikirkan kalimat dari Bhagavad Gita--"Sekarang saya menjadi Maut, perusak dunia".

Akan tetapi tidak ada yang mendengarnya mengatakannya pada hari itu, sehingga Nolan menggunakan sulih suara untuk mengakui ambiguitas tersebut.

Mungkin kalimat itu adalah pandangan retrospektif mengenai keseriusan topik ini, atau permohonan pengampunan, dan Oppenheimer berperan sebagai penulis skenario atas hidupnya sendiri. Tapi itu membawa kebenaran yang lebih dalam.

Terlepas dari teori globe-of-fire, atau apa yang Presiden Truman putuskan, Oppenheimer menyadari pada momen ketika cahaya putih itu memancar, bahwa karyanya telah mengubah dunia secara radikal, dan mungkin suatu hari akan mengakhiri dunia secara harfiah.